This is my heroes

Happy or unhappy, families are all mysterious. We have only to imagine how differently we would be described - and will be, after our deaths - by each of the family members who believe they know us. Gloria Steinem

5 Cara Dapat Biaya untuk Parcel Lebaran

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Family is the most important in alive

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Family

Family is the most important in alive. This is my family, the important things in my life

Sastra Penarawa di Eling Bening, Ambarawa

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 April 2016

Menari di Atas Kanvas



Menari di Atas Kanvas

Melukis itu hobi lama yang sudah lama mati. Mati suri tepatnya. Terakhir lukisan dimuat di Majalah Bobo jaman aku kelas 3 sekolah dasar. Hihihi, sudah lama bingit, kan? Tapi eh, tunggu, aku sempat menerima pesanan lukisan seorang kawan, harga teman pastinya, hem…
Lama banget nggak bersentuhan dengan kuas dan kanvas, eh ada pameran lukisan di pendopo Kec. Ambarawa. Sudah lama sih, tapi baru sempat menulisnya sekarang. Tak apalah, yang penting bisa berbagi tulisan buat mas bro dan mbak bro di sini, haish…
Tepatnya 26 Desember 2015, hah? Sudah tahun lalu,ya? #baru nyadar. Sehabis kopdar Penulis Ambarawa dadakan di rumah Bu Yanti di Kaliputih, mampir juga akhirnya ke tempat pameran lukisan. Matur nuwun buat Mas Adji Atmoko yang telah dengan senang hati mengantarku sampai ke TKP. Langsung kabur dia, hehehe. Masuk, deh, tingak tinguk nggak ada yang kenal, pede aja bergegas lihat lukisan yang dipajang.
            Wih, keren-keren lho lukisannya. Ternyata, di situ juga disediakan tempat melukis buat pengunjung yang ingin melukis. Wah wah, kesempatan nih, biar jemari lentur lagi bisa menggoyangkan kuas di atas kanvas. Jadilah kubeli media kanvas seharga Rp12.500. Sedangkan catnya sudah disediakan, gratis. Ada juga pelatihan melukisnya, lho.
Iseng-iseng akhirnya pingin juga melukis. Meski tangan kakunya setengah mati.

                                        Lama tak melukis, hosh hosh hosh!

Hasilnya? Tara!!

                                  Harus pede dengan karya sendiri, hihihi...

Ternyata, kepala suku Penulis Ambarawa, dateng juga ke situ. Yaelah Mas Agus Surawan, tahu gitu mbokya tadi aku nebeng, ya. Tiwas ngerepotin Mas Adji, hadweh. Ternyata dia udah janjian sama yang ngajarin ngelukis. Etahlah apa yang ada di pikian Mas Agus, mo melukis mikirnya serius amat. Aku sampai geli melihatnya.
Hem, tenyata melukis asyik juga, ya. Secara sebenarnya aku lebih suka melukis daripada menulis. Tapi ke sini, menulis juga asyik. Nah lho, bingung, kan? Tapi bagaimanapun, melukis adalah jiwa. Nggak boleh ada paksaan dalam berkesenian. Tuangkan apa yang ada di kepalamu, sejukkan, senyapkan, jadikan. Intinya ojo separo-separo!

Jumat, 22 April 2016

Dari Tawang ke Pasarturi



Dari Tawang ke Pasarturi

Ahad, 17 April 2016 adalah hari yang kutunggu. Hari itu Penulis Ambarawa mengadakan kopdar di Aula Mater Alma, Ambarawa. Sayangnya, Sabtu, tanggal 16 April 2016 aku harus ke Surabaya karena dapat kabar duka om meninggal. Kuputuskan untuk berangkat ke Surabaya bersama Mbakyu dan Masku. Artinya, aku nggak jadi ketemuan dengan teman-teman komunitas Penulis Ambarawa. Tak apalah, lain waktu insyaallah bisa ngumpul lagi bareng mereka.
Biar nyaman, diputuskan naik Kereta Api dari Stasiun Tawang. Pilihan jatuh ke KA Harina, kelas eksekutif. Jam berangkat 05.30 WIB, on time.
Karena pagi banget, jam 03.30 WIB kami berangkat dari Sumowono. Brrr, udara dingin menusuk sampai ke tulang. Bangunku dari jam 1 dini hari, lho. Hoahem, masih ngantuk berat. Bereskan ini itu karena krucils bakal kutinggal seharian.
Dengan diantar sopir kami menuju Stasiun Tawang. Seumur-umur, baru sekali ni ke stasiun yang terletak di Semarang ini. Di sana, ada beberapa titik perbaikan yang belum selesai digarap. 

                                              Stasiun Tawang, Semarang

Karena beli tiketnya online, kita musti nyetak sendiri di tempat yang sudah disediakan. Ada 4 komputer waktu nyetak tiket. Di samping kanan pintu masuk, masih banyak komputer. Kita isi kode tiketnya, sentuh kata cetak, tercetaklah tiketnya. Eh, waktu ambil kertas tiketnya, hati-hati, ya. Agak susah, kudu ekstra hati-hati biar nggak sobek. 

                    Tiket KA. Harina, waktu ngeprint nyobeknya hati-hati, lho :)

Awalnya bingung juga lha wong kami bertiga sudah lama nggak naik KA. Terakhir kuingat naik pramex, jaman masih ngantor, dari Yogyakarta menuju Solo.  Tiketnya Rp5000,00. Itupun beli di loket. Di dalam kereta dijeglok sama kondekturnya. Di stasiun masih banyak pengamen dan penjaja asongan.
Ternyata sekarang sudah beda banget sama dulu. Stasiun bersih, nggak ada yang maksa kita beli ini itu, aman tentram damai sejahtera. Dulu, ngantuk dikit aja sandal bisa hilang, lho.
Masuk di ruang tunggu, tempatnya bersih dan nyaman. Gedungnya juga keren banget, bangunan kuno yang pastinya banyak menyimpan cerita sejarah. Kita langsung kasihkan tiket ke petugas plus perlihatkan KTP. Sambil nunggu KA Harina datang, aku perhatikan stasiun yang bersih. Toiletnya juga bersih dan gratis. 

 Ruang tunggunya keren, langit-langitnya tinggi. Gedung kuno yang sangat eksotis.

                  Tempat  ngecek tiket KA. Lihat aja bangunannya, kuno dan unik

Jam 5 kita naik ke atas KA Harina. Segerbong hanya terisi 10 orang, nggak penuh. Ada 2 TV di pojok gerbong. Isinya tentang pelayanan KA. Dilanjutkan film Jacky Chang menemani perjalanan. Entahlah judulnya apa. Di depan masing-masing tempat duduk ada 2 colokan, bisa buat nge-charge gadget yang kita bawa.
Gerbong KA juga bersih, lho, setiap sejam sekali petugas cleaning service (di baju bagian punggung tertulis on trip cleaning) siap membersihkan gerbong. Pramugara dan pramugari KA juga menawarkan sarapan pagi. Kita beli nasi goreng dan teh manis, harganya Rp25.000,00. Sehabis sarapan ditawarin juga snack, berupa kacang dan cemilan lainnya. Kubeli kacang atom seharga Rp8000,00.
Sepanjang perjalanan mayoritas pemandangannya sawah. KA berhenti sebentar di Stasiun Ngrombo, untuk menurunkan penumpang. Dari situ lanjut ke Stasiun Cepu. Sehabis Stasiun Cepu ini, selain sawah, terlihat banyak hutan jati. Bayangin kalau dijual pasti tumpukan duitnya segunung, hohoho.
Pukul 08.11 WIB sampailah di Stasiun Bojonegoro. Lanjut Stasiun Babat pukul 08.50. Karena tidur, aku nggak catet stasiun mana lagi yang terlewati, hehe. Pokoknya tepat pukul 09.57 WIB sampai di Stasiun Pasarturi. Alhamdulillah

                                Sampai juga di Stasiun Pasarturi, Surabaya

Di pintu keluar Pasarturi, sudah rapi berjejer para sopir taksi dan abang becak menawarkan diri. Untunglah, ada sepupu sudah menjemput. Kita langsung meluncur ke Jalan Mojo, rumah Om. Ternyata naik kereta sekarang dan dulu beda, ya. Itulah sekelumit cerita dari Tawang ke Pasarturi, semoga berguna buat semuanya. Salam semangat!



Senin, 18 April 2016

Cinta Wayang, Cinta Budaya



Cinta Wayang, Cinta Budaya

Setiap ada perayaan di desa, ada satu tontonan yang kuusahakan  untuk nonton. Apalagi kalau bukan wayang. Selain sudah jarang, tidak setiap perayaan desa nanggap wayang. Paling dalam setahun hanya sekali dua kali ada tanggapan wayang. Tidak seperti dulu lagi, sunatan aja nanggap wayang. Bahkan pernah lho dalam setahun tidak ada tontonan wayang.

                                       Ki Dalang sedang beraksi :)
 
Nah, dalam rangka peresmian pasar desa Sumowono, Rabu, tanggal 13 April 2016 kemarin, ada beberapa tontonan di desa. Pagi acaranya jalan sehat, semua warga boleh ikut, tak ketinggalan reog serta organ tunggal. Pokoknya rame, deh. Malamnya, wayangan! Ini dia yang kutungu-tunggu. Buat ngenalin ke krucils juga tentang budaya bangsa yang sudah jarang ada. Kalau bukan kita yang nguri-uri budaya bangsa, siapa lagi?
Rabu malam ternyata hujan. Wah, nggak tega juga nanti krucils tambah kedinginan. Sumowono daerah pegunungan, berhawa dingin. Kalau hujan bakal makin dingin. Komat kamit berdoa semoga hujan lekas berhenti. Sebelum tidur krucils sudah resah dan gelisah takut nggak jadi nonton wayang, hihihi. Untunglah masih bisa dirayu jadi nggak rewel.
Sekitar jam 2 Kamis dini hari, hujan tinggal rintik-rintik. Suara klonengan dan sinden yang syahdu membuat nggak bisa tidur. Penasaran juga nonton wayang, sudah lama nggak nonton. Dengan susah payah berhasil juga bangunin krucils. Meskipun mata masih merem melek, mau juga diajak naik motor ke pasar lihat wayang.

                                       Tetap semangat meksi menjelang subuh

Sampai di sana, terlihat panggung sederhana dengan pajangan ratusan wayang di atas gedebog pisang. Beberapa penabuh gamelan serta 3 sinden dengan baju adat Jawa membuat krucils melek. Nggak jadi ngantuk, langsung semangat nonton.
Sayang, penontonnya bisa dihitung dengan jari, itupun sudah mbah-mbah semua. Kutanya pada seorang Bapak yang nonton tadi katanya penuh, cuma sudah pada pulang. Tampak di pojokan 2 orang pemuda yang ngurus sound system. Banyak penonton sarungan untuk menghalau hawa dingin yang menusuk tulang.
Ceritanya ternyata sudah goro-goro. Buto lawan Werkudoro. Haha, bener-bener deh sudah telat, tapi lumayan daripada nggak jadi nonton sama-sekali. Setelah tanya sana-sini Pak dalangnya Dalang Harsono, keren banget. Dengan lakon Wahyu Kamulyan Jati.
Menurut Mas Agus, penikmat wayang dan penjual di pasar pagi, kurang lebih lakon wayang itu bermakna bisikan dari Tuhan untuk kemulyaan hidup di dunia dan akherat yang sejati. Wah, Mas Agus ini walau nontonnya sebentar karena musti jualan, sempat  berbagi sama diriku. Matur nuwun pencerahannya Mas Agus, ya.

                  Dari depan panggung, hanya tampak segelintir orang, sarungan lagi, hihihi.
 
Yah, karena nggak lihat dari awal membuat alur dan ceritanya kurang lengkap. Saat nonton itulah krucils tak berhenti tanya ini itu. Tentang pajangan wayang yang ratusan, Ki dalang, sinden yang berbaju Jawa, penabuhnya, panggungnya, gedebok untuk nancepin wayang de el el. Hihihi, sampai capek menjawabnya.
Tak lupa juga aku ambil foto walau kurang begitu jelas hasilnya. Kuambil dari samping panggung. Eh nggak kuduga, di samping kanan panggung, penontonnya bejibun. Dari tua, muda, ganteng, cantik, segala macem ada, deh. Wah, mereka menikmati banget pagelaran wayang malam itu. Ternyata penggemar wayang masih banyak, ya, nggak hanya kalangan jadul doang.
Ketiga sinden yang cantik juga masih terus semangat, walau udara makin dingin menjelang subuh. Para penabuh gamelan yang biasa disebut niyogo wajahnya tetap ceria. Hebat banget kan mereka ini. Tanpa sengaja aku melihat termos disamping para sinden, Hihihi, ternyata untuk menahan kantuk mereka bikin kopi, juga miuman hangat yang lain. Penabuhnya juga dibikinin lho. 

                                 Ini dia selebarannya, kapan ada wayang lagi ya?

Menjelang subuh, geber hampir ditutup. Kita juga langsung pulang. Bangga juga bisa ngenalin wayang ke anak-anak. Nggak lebih 2 jam sih nontonnya, tapi sudah membuat anak-anak tahu warisan budaya yang kudu dilestarikan. Kalau bukan anak cucu kita, siapa lagi, hayo? Yuk cintai budaya dengan cinta wayang!


Selasa, 12 April 2016

Nambah Tumpukan Harta, di Shooping, Yogyakarta



Nambah Tumpukan Harta, di Shooping, Yogyakarta

Sudah lama banget nggak ke toko buku. Secara rumah nun jauh di pedesaan Sumowono. Toko buku paling dekat ke Salatiga atau bablas Semarang. Di Ambarawa dulu ada, namanya toko ABC. Dari Gamblok turun terus sekitar 500 meter. Tapi sekarang juga sudah tidak ada. Alhasil, cari dan beli buku-buku kalau pas ada  pameran buku di Ambarawa dan sekitarnya (yang masih terjangkau dengan naik colt). Hehehe... resiko hidup di desa.
Untungnya, tanggal 24 Maret 2016 bisa temenin anak piknik ke Yogya. Hore #jingkrak-jingkrak. Meskipun hanya Yogya, itu sesuatu banget buatku. Yogya itu ngangenin,  pokoknya I love Yogya, deh!
Tujuan pertama ke Gembira Loka lanjut berenang di Grand Pury. Sore saatnya ke Malioboro. Sudah kuagendakan, nih kudu mampir shooping. Udah semangat banget, ternyata busnya parkir di dekat Hotel Garuda. Ihiksss, mau ke shooping jauh dong, ya. Akhirnya diputuskan naik becak motor, bayarnya Rp20.000,00,  berempat. Dua dewasa, dua anak-anak. Nggak pakai nawar, bapak becaknya emoh-emoh banget ditawar. Yoweslah, yang penting sampai shooping.
Nggak ada seperempat jam sampai juga ke shooping. Pangling juga lihat shooping yang lebih rapi dan teratur ketimbang shooping jaman SMA dulu. Dulu, tiap beli buku pelajaran, andalannya ya shooping. Beli di toko buku nggak mampu wong harganya selangit. Selain bisa ditawar, habis dari shooping bisa langsung ke Malioboro. Hihihi, sekali dayung dua tiga pulau terlampauilah.
Karena penampakannya yang sudah berubah, bikin aku bingung. Mana nih langgananku dulu, ya? Bapak-bapak pendek dengan segala buku second dan buku pelajaran murah meriah. Lirik kanan kiri, tetap nggak nemu. Yaelah, entahlah.
Pokoknya, mata ijo lihat tumpukan buku yang buanyak pol. Kalap banget pingin beli semua, haha… buku, harta yang sangat berharga. Timbang bingung kelamaan, masuk juga ke sebuah kios. Aduh, makin bingung. Semuanya oke punya. Bagiku mah, buku apa aja aku mau, tapi inget duit di kantong. Belum beli oleh-oleh lagi, hihihi.

 Pilah pilih buku sebelum tawar menawar 

Ternyata nggak cuma aku yang bingung, jagoanku juga bingung. Yang mana, yang mana, bebas, bebas, dipilih, dipilih, semua jenis buku bisa menjadi temanku.
Uhui! Setelah milih ini itu bersama jagoan, akhirnya terpilih 17 buku. Mulai dari cerita bergambar pilihan si kecil sampai nemu buku serial kesukaanku, Lima Sekawan, hore! Maunya sih cari yang cetakan lama, second juga nggak masalah. Sayang nggak ada. Yah, belilah yang masih baru dengan harga yang miring sangad! So pasti pakai acara tawar menawar yang lumayan lama, hohoho.

Nambahin tumpukan harta, hihihi



Alhamdulillah, kesampaian juga ke shooping mborong buku-buku. Belum puas, sih, karena waktunya cuma 1,5 jam, sudah harus stand by di bus lagi. Balik lagi deh ke parkiran bus dengan segepok harta buku baru. Kangen Yogya lumayan terobati. Yang penting udah nambahin harta karun dengan judul buku baru. Bye Yogya… Jogja, Jogja, Jogja istimewa, untuk Indonesia. Pancen Yogya istimewa J